4 Kisah memilukan mereka yang mencari keadilan
Pepatah hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas memang bukan isapan jempol. Keadilan begitu mahal bagi mereka yang tidak punya.
Demi memperoleh keadilan, mereka yang tak mampu tak jarang melakukan berbagai cara. Berjalan kaki ribuan kilo pun pernah dilakukan seorang bapak untuk menuntut keadilan bagi anak. Namun tetap saja keadilan itu hanya sebuah mimpi yang sulit terwujud.
Mirisnya lagi, mereka yang tidak punya tersebut justru menjadi korban ketidakadilan para aparat penegak hukum. Wakil negara yang seharusnya mengayomi justru membuat petaka bagi rakyat yang papa.
Demi memperoleh keadilan segala macam cara dilakukan. Berikut empat kisah memilukan mereka yang berusaha mencari keadilan.
1. Jalan kaki dari Malang ke Mekkah
Indra Azwan (53), warga Malang, Jawa Timur, rela berjalan kaki dari Malang menuju Jakarta untuk bertemu SBY. Namun keadilan tak kunjung dia dapatkan. Bahkan kini bapak empat anak ini sedang berjalan kaki menuju tanah suci Mekkah untuk mengadukan ketidakadilan yang dia alami.
Indra Azwan adalah seorang pencari keadilan atas kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993 silam. Pelakunya, Lettu Pol Joko Sumantri, hingga kini tidak diadili. Dalam insiden tabrak lari tersebut, Rifki anaknya meninggal dunia.
Benarkah keadilan akan dia dapat setelah sampai di tanah suci? Semoga saja bapak ini segera mendapatkan keadilan yang lebih dari 19 tahun itu.
Demi memperoleh keadilan, mereka yang tak mampu tak jarang melakukan berbagai cara. Berjalan kaki ribuan kilo pun pernah dilakukan seorang bapak untuk menuntut keadilan bagi anak. Namun tetap saja keadilan itu hanya sebuah mimpi yang sulit terwujud.
Mirisnya lagi, mereka yang tidak punya tersebut justru menjadi korban ketidakadilan para aparat penegak hukum. Wakil negara yang seharusnya mengayomi justru membuat petaka bagi rakyat yang papa.
Demi memperoleh keadilan segala macam cara dilakukan. Berikut empat kisah memilukan mereka yang berusaha mencari keadilan.
1. Jalan kaki dari Malang ke Mekkah
Indra Azwan adalah seorang pencari keadilan atas kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993 silam. Pelakunya, Lettu Pol Joko Sumantri, hingga kini tidak diadili. Dalam insiden tabrak lari tersebut, Rifki anaknya meninggal dunia.
Benarkah keadilan akan dia dapat setelah sampai di tanah suci? Semoga saja bapak ini segera mendapatkan keadilan yang lebih dari 19 tahun itu.
2. Mbah Sutrisno dan 4 cucunya
Aksi jalan kaki dilakukan Mbah Sutrisno (66), Mbah Suwarsih (58) dan empat orang cucunya, Suhartadi (19), Alip Nur (11), Sujabar Sidik (9) serta Bambang (4,5). Mereka adalah warga Desa Talangan, Kecamatan Pedan Klaten,
Mereka berenam, nekat berjalan kaki dari Klaten, Jawa Tengah, menuju Jakarta, untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mereka menuntut keadilan kepada Presiden SBY, Komnas HAM dan Mahkamah Agung (MA), atas kasus pengerusakan rumah miliknya yang dilakukan sekelompok orang pada 1998 silam.
Anehnya, korban yang melaporkan kasus tersebut justru dijadikan tersangka dan ditahan oleh polisi. Sementara, pelaku pengerusakan hingga saat ini masih bebas berkeliaran dan tak tersentuh hukum.
Sutrisno hanya membawa sebuah sepeda onthel yang digunakan untuk mengangkut bekal dan membawa cucunya yang paling kecil. Untuk keperluan makan selama perjalanan, Sutrisno mengaku kerap mendapat bantuan dari warga yang bersimpati sepanjang perjalanan.
"Harapan kami Pak Presiden (SBY) berkenan menerima kedatangan kami di Istana Negara, serta dapat mengambil keputusan yang tepat, sehingga kami dapat mendapatkan keadilan yang sudah 14 tahun yang tidak juga kami peroleh," harapnya.
Mereka berenam, nekat berjalan kaki dari Klaten, Jawa Tengah, menuju Jakarta, untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mereka menuntut keadilan kepada Presiden SBY, Komnas HAM dan Mahkamah Agung (MA), atas kasus pengerusakan rumah miliknya yang dilakukan sekelompok orang pada 1998 silam.
Anehnya, korban yang melaporkan kasus tersebut justru dijadikan tersangka dan ditahan oleh polisi. Sementara, pelaku pengerusakan hingga saat ini masih bebas berkeliaran dan tak tersentuh hukum.
Sutrisno hanya membawa sebuah sepeda onthel yang digunakan untuk mengangkut bekal dan membawa cucunya yang paling kecil. Untuk keperluan makan selama perjalanan, Sutrisno mengaku kerap mendapat bantuan dari warga yang bersimpati sepanjang perjalanan.
"Harapan kami Pak Presiden (SBY) berkenan menerima kedatangan kami di Istana Negara, serta dapat mengambil keputusan yang tepat, sehingga kami dapat mendapatkan keadilan yang sudah 14 tahun yang tidak juga kami peroleh," harapnya.
3. Syamsul Arifin korban salah tangkap polisi
Syamsul Arifin (23) harus menempuh ribuan kilometer untuk mengadukan nasibnya yang mengenaskan akibat salah tangkap. Dengan sepeda motornya Syamsul mencari keadilan guna memperbaiki nama baiknya ke berbagai lembaga penegak hukum di Jakarta.
Sebelum ke Kompolnas, Syamsul mengaku telah mengunjungi Komnas Ham, Polhukam, Polda dan Propam Polri untuk mengadukan nasibnya. Meski demikian tak ada satupun lembaga tersebut yang bisa menolongnya.
Syamsul menceritakan kisah tragisnya berawal dari penangkapan tiba-tiba oleh aparat saat dirinya hendak bekerja sebagai tukang mebel. Tanpa surat penahanan, Syamsul pun digelandang ke Polsek Rungkut, Surabaya. Di sana, mukanya ditutup plastik hitam dipukul dan dipaksa mengaku mencuri TV tetangganya.
Bahkan tanda tangannya dipalsukan dalam BAP. Hasilnya, diapun ditahan selama 6 bulan. Beruntung dalam persidangan Pengadilan Tinggi Surabaya, Syamsul dinyatakan bebas pada 5 Juli 2011.
Namun nasi sudah menjadi bubur, rencana pernikahannya dengan wanita sang pujaan hati batal karena dia tangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Lalu kepada siapa kini Syamsul harus mengadukan nasibnya yang menjadi korban salah tangkap tersebut. Padahal nama baik dan masa depan sudah hancur.
Sebelum ke Kompolnas, Syamsul mengaku telah mengunjungi Komnas Ham, Polhukam, Polda dan Propam Polri untuk mengadukan nasibnya. Meski demikian tak ada satupun lembaga tersebut yang bisa menolongnya.
Syamsul menceritakan kisah tragisnya berawal dari penangkapan tiba-tiba oleh aparat saat dirinya hendak bekerja sebagai tukang mebel. Tanpa surat penahanan, Syamsul pun digelandang ke Polsek Rungkut, Surabaya. Di sana, mukanya ditutup plastik hitam dipukul dan dipaksa mengaku mencuri TV tetangganya.
Bahkan tanda tangannya dipalsukan dalam BAP. Hasilnya, diapun ditahan selama 6 bulan. Beruntung dalam persidangan Pengadilan Tinggi Surabaya, Syamsul dinyatakan bebas pada 5 Juli 2011.
Namun nasi sudah menjadi bubur, rencana pernikahannya dengan wanita sang pujaan hati batal karena dia tangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Lalu kepada siapa kini Syamsul harus mengadukan nasibnya yang menjadi korban salah tangkap tersebut. Padahal nama baik dan masa depan sudah hancur.
4. Kasdi ditolak ajukan kasasi gara-gara sendal jepit
Kasdi, seorang warga asal Desa Dukuh Babadan, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah, mendatangi Gedung Mahkamah Agung (MA) bersama istri Jumila (66) dan anaknya Nova (10). Namun oleh petugas keamanan MA, si miskin ini diusir lantaran hanya menggunakan sandal jepit saat tiba di gedung para hakim Agung yang mulia itu.
Kasdi mendatangi MA dengan maksud mendaftarkan kasasi perkara narkoba yang menjerat anaknya, Sarmidi (24). Dia meyakini, sang anak telah menjadi korban lantaran dijebak oleh temannya bernama Afianto yang diduga seorang anggota polisi.
Sarmidi sendiri telah divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Semarang. Dan di tingkat banding, majelis hakim menguatkan putusan PN Semarang.
"Anak saya disuruh beli ganja oleh temannya, Afianto. Anak saya tidak mau, tapi temannya Afianto pinjam ponsel anak saya untuk menelepon penjual ganja. Tidak lama kemudian, anak saya malah ditangkap oleh polisi dan langsung ditahan. Saya datang ke Jakarta ini untuk menuntut keadilan," ujar Kasdi di depan Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (13/12).
Kasdi mengungkapkan, upayanya menempuh perjalanan jauh dari Demak menuju Jakarta gagal. Padahal, untuk dapat sampai Jakarta saja, Kasdi harus menjual ayam, beras, dan sepeda demi tiket kereta ekonomi.
Sementara itu, Kasdi juga telah kehilangan harta bendanya demi membiayai perkara Samidi hingga tingkat banding dengan menjual rumahnya seharga Rp 9 juta. Namun, tetap saja, upaya itu tidak membuahkan hasil.
Kasdi mendatangi MA dengan maksud mendaftarkan kasasi perkara narkoba yang menjerat anaknya, Sarmidi (24). Dia meyakini, sang anak telah menjadi korban lantaran dijebak oleh temannya bernama Afianto yang diduga seorang anggota polisi.
Sarmidi sendiri telah divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Semarang. Dan di tingkat banding, majelis hakim menguatkan putusan PN Semarang.
"Anak saya disuruh beli ganja oleh temannya, Afianto. Anak saya tidak mau, tapi temannya Afianto pinjam ponsel anak saya untuk menelepon penjual ganja. Tidak lama kemudian, anak saya malah ditangkap oleh polisi dan langsung ditahan. Saya datang ke Jakarta ini untuk menuntut keadilan," ujar Kasdi di depan Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (13/12).
Kasdi mengungkapkan, upayanya menempuh perjalanan jauh dari Demak menuju Jakarta gagal. Padahal, untuk dapat sampai Jakarta saja, Kasdi harus menjual ayam, beras, dan sepeda demi tiket kereta ekonomi.
Sementara itu, Kasdi juga telah kehilangan harta bendanya demi membiayai perkara Samidi hingga tingkat banding dengan menjual rumahnya seharga Rp 9 juta. Namun, tetap saja, upaya itu tidak membuahkan hasil.
0 Komentar:
Post a Comment