MENJELANG perayaan Hari Natal, 25 Desember, ada sebagian kalangan
kaum Muslim yang kembali menggugat fatwa MUI tentang “haramnya seorang
Muslim hadir dalam Perayaan Natal Bersama.” Ada yang menyatakan, bahwa
yang melarang Perayaan Natal Bersama (PNB) atau yang tidak mau
menghadiri PNB adalah tidak toleran, eksklusif, tidak menyadari
pluralisme, tidak mau berta’aruf, dan sebagainya. Padahal orang Islam
disuruh melakukan ta’aruf (QS 49:13). Banyak yang kemudian berdebat
“boleh dan tidaknya” menghadiri PNB, tanpa menyadari, bahwa sebenarnya
telah banyak diciptakan mitos-mitos seputar apa yang disebut PNB itu
sendiri.
Pertama, mitos bahwa PNB adalah keharusan. Mitos ini
seperti sudah begitu berurat-berakar, bahwa PNB adalah enak dan perlu.
Padahal, bisa dipertanyakan, apa memang perlu diadakan PNB? Untuk apa?
Jika PNB perlu, bahkan dilakukan pada skala nasional dan dijadikan acara
resmi kenegaraan, maka perlukah juga diadakan WB (Waisak Bersama), NB
(Nyepi Bersama), IFB (Iedul Fitri Bersama), IAB (Idul Adha Bersama), MNB
(Maulid Nabi Bersama), IMB (Isra’ Mi’raj Bersama), IB (Imlek Bersama).
Jika semua itu dilakukan, mungkin demi alasan efisiensi dan pluralisme
beragama, akan ada yang usul, sebaiknya semua umat beragama merayakan
HRB (Hari Raya Bersama), yang menggabungkan hari raya semua agama
menjadi satu. Di situ diperingati bersama kelahiran Tuhan Yesus,
peringatan Nabi Muhammad SAW, dan kelahiran dewa-dewa tertentu, dan
sebagainya.
Keharusan PNB sebenarnya adalah sebuah mitos. Jika
kaum Kristen merayakan Natal, mengapa mesti melibatkan kaum agama lain?
Ketika itu mereka memperingati kelahiran Tuhan Yesus, maka mengapa mesti
memaksakan umat agama lain untuk mendengarkan cerita tentang Yesus
dalam versi Kristen? Mengapa doktrin tentang Yesus sebagai juru selamat
umat manusia itu tidak diyakini diantara pemeluk Kristen sendiri?
Di
sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, seperti Indonesia, wacana
tentang perlunya PNB adalah sebuah keanehan. Kita tidak pernah mendengar
bahwa kaum Kristen di AS, Inggris, Kanada, Australia, misalnya,
mendiskusikan tentang perlunya dilaksanakan IFB (Idul Fitri Bersama),
agar mereka disebut toleran. Bahkan, mereka tidak merasa perlu
menetapkan Idul Fitri sebagai hari libur nasional. Padahal, di Inggris,
Kanada, dan Australia, mereka menjadikan 26 Desember sebagai “Boxing
Day” dan hari libur nasional. Selain Natal, hari Paskah diberikan libur
sampai dua hari (Easter Sunday dan Esater Monday). Di Kanada dan
Perancis, Hari Natal juga libur dua hari. Hari libur nasional di AS
meliputi, New Year’s Day (1 Januari), Martin Luther King Jr Birthday (17
Januari), Washingotn’s Birthday (21 Februari), Memorial Day (30 Mei),
Flag Day (14 Juni), Independence Day (4 Juli), Labour Day (5 September),
Columbus Day (10 Oktober), Veterans Day (11 November), Thanksgiving’s
Day (24 November), Christmas Day (25 Desember).
Kedua,
mitos bahwa PNB membina kerukunan umat beragama. Mitos ini begitu kuat
dikampanyekan, bahwa salah satu cara membina kerukunan antar umat
beragama adalah dengan PNB. Dalam PNB biasanya dilakukan berbagai acara
yang menegaskan keyakinan umat Kristen terhadap Yesus, bahwa Yesus
adalah anak Allah yang tunggal, juru selamat umat manusia, yang wafat di
kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. Kalau mau selamat, manusia
diharuskan percaya kepada doktrin itu. (Yohanes, 14:16). Satu
kepercayaan yang dikritik keras oleh al-Quran. (QS 5:72-73, 157;
19:89-91, dsb).
Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat
bahwa Allah punya anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan).
Dan Allah berfirman dalam al-Quran: “Hampir-hampir langit runtuh dan
bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasannya mereka mengklaim
bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Prof. Hamka
menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama semacam itu bukan
menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tetapi menyuburkan
kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan
perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fitri bersama, karena waktunya
berdekatan:
“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah.
Sebagaimana
tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw
dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi
Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab
suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik
orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang
Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah saru
ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal
yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada
hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak
hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan
oleh telinga mereka.
Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak
bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw
adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen
akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab
kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada
toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa
waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan
manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan
cinta dalam Yesus.” Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri
judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.”
Ketiga,
mitos bahwa dalam PNB orang Muslim hanya menghadiri acara non-ritual
dan bukan acara ritual. Untuk menjernihkan mitos ini, maka yang perlu
dikaji adalah sejarah peringatan Natal itu sendiri, dan bagaimana bisa
dipisahkan antara yang ritual dan yang non-ritual. Sebab, tradisi ini
tidak muncul di zaman Yesus dan tidak pernah diperintahkan oleh Yesus.
Maka, bagaimana bisa ditentukan, mana yang ritual dan mana yang tidak
ritual? Yang jelas-jelas tidak ritual adalah menghadirkan tokoh Santa
Claus, karena ini adalah tokoh fiktif yang kehadirannya dalam peringatan
Natal banyak dikritik oleh kalangan Kristen. Sebuah situs Kristen
(www.sabda.org), menulis satu artikel berjudul: “Merayakan Natal dengan
Sinterklas: Boleh atau Tidak?”
“Dikatakan, dalam artikelnya yang
berjudul The Origin of Santa Claus and the Christian Response to Him
(Asal-usul Sinterklas dan Tanggapan Orang Kristen Terhadapnya), Pastor
Richard P. Bucher menjelaskan bahwa tokoh Sinterklas lebih merupakan
hasil polesan cerita legenda dan mitos yang kemudian diperkuat serta
dimanfaatkan pula oleh para pelaku bisnis.
Sinterklas yang kita
kenal saat ini diduga berasal dari cerita kehidupan seorang pastor dari
Myra yang bernama Nicholas (350M). Cerita yang beredar (tidak ditunjang
oleh catatan sejarah yang bisa dipercaya) mengatakan bahwa Nicholas
dikenal sebagai pastor yang melakukan banyak perbuatan baik dengan
menolong orang-orang yang membutuhkan. Setelah kematiannya, dia
dinobatkan sebagai “orang suci” oleh gereja Katolik, dengan nama Santo
Nicholas. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Sinterklas sebenarnya tidak
sesuai dengan ajaran iman Kristen… Akhirnya, sebagai guru Sekolah Minggu
kita harus menyadari bahwa hal terpenting yang harus kita perhatikan
adalah menjadikan Kristus sebagai berita utama dalam merayakan Natal —
Natal adalah Yesus.”
Mitos tentang Santa Claus ini begitu hebat
pengaruhnya, sampai-sampai banyak kalangan Muslim yang bangga berpakaian
ala Santa Claus.
Keempat,
mitos bahwa tidak ada unsur misi Kristen dalam PNB. Melihat PNB hanya
dari sisi kerukunan dan toleransi tidaklah tepat. Sebab, dalam PNB unsur
misi Kristen juga perlu dijelaskan secara jujur. PNB adalah salah satu
media yang baik untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia
mengenal doktrin kepercayaan Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan
Yesus sebagai juru selamat, manusia akan selamat.
Sebab, misi
Kristen adalah tugas penting dari setiap individu dan Gereja Kristen.
Konsili Vatikan II (1962-1965), yang sering dikatakan membawa angin
segar dalam hubungan antar umat beragama, juga mengeluarkan satu dokumen
khusus tentang misi Kristen (The Decree on the Missionary Activity)
yang disebut “ad gentes” (kepada bangsa-bangsa). Dalam dokumen nostra
aetate, memang dikatakan, bahwa mereka menghargai kaum Muslim, yang
menyembah satu Tuhan dan mengajak kaum Muslim untuk melupakan masa lalu
serta melakukan kerjasama untuk memperjuangkan keadilan sosial,
nilai-nilai moral, perdamaian, dan kebebasan. (“Upon the Moslems, too,
the Church looks with esteem. They adore one God, living and enduring,
merciful and all-powerful, Maker of heaven and earth …Although in the
cause of the centuries many quarrels and hostilities have arisen between
Christians and Moslems, this most sacred Synod urges alls to forget the
past and to strive sincerely for mutual understanding On behalf of all
mankind, let them make common cause of safeguarding and fostering social
justice, moral values, peace, and freedom.”).
Tetapi, dalam ad
gentes juga ditegaskan, misi Kristen harus tetap dijalankan dan semua
manusia harus dibaptis. Disebutkan, bahwa Gereja telah mendapatkan tugas
suci untuk menjadi “sakramen universal penyelamatan umat manusia (the
universal sacrament of salvation), dan untuk memaklumkan Injil kepada
seluruh manusia (to proclaim the gospel to all men). Juga ditegaskan,
semuya manusia harus dikonversi kepada Tuhan Yesus, mengenal Tuhan Yesus
melalui misi Kristen, dan semua manusia harus disatukan dalam Yesus
dengan pembaptisan. (Therefore, all must be converted to Him, made known
by the Church’s preaching, and all must be incorporated into Him by
baptism and into the Church which is His body).
Tentu adalah hal
yang normal, bahwa kaum Kristen ingin menyebarkan agamanya, dan
memandang penyebaran misi Kristen sebagai tugas suci mereka. Namun,
alangkah baiknya, jika hal itu dikatakan secara terus-terang, bahwa
acara-acara seperti PNB memang merupakan bagian dari penyebaran misi
Kristen.
Dengan memahami hakekat Natal dan PNB, seyogyanya kaum
non-Muslim menghormati fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang umat
Islam untuk menghadiri PNB. MUI tidak melarang kaum Kristen merayakan
Natal. Fatwa itu adalah untuk internal umat Islam, dan sama sekali tidak
merugikan pemeluk Kristen. Fatwa itu dimaksudkan untuk menjaga
kemurnian aqidah Islam dan menghormati pemeluk Kristen dalam merayakan
Hari Natal.
Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret
1981, yang isinya antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal
bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak
terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak
mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Kalangan
Kristen ketika itu, melalui DGI dan MAWI, banyak mengkritik fatwa
tersebut. Mereka menilai fatwa itu berlebihan dan tidak sejalan dengan
semangat kerukunan umat beragama. Kalangan Kristen dari luar negeri juga
banyak yang berkomentar senada. Padahal, sebenarnya aneh, jika kalangan
Kristen yang meributkan fatwa ini. Lebih ajaib lagi, jika ada yang
mengaku Muslim meributkan fatwa ini, karena mungkin “kebelet” merayakan
Hari Natal dan ingin disebut toleran.
Kalau terpaksa harus
merayakan Natal, tidaklah bijak jika harus menggugat soal hukumnya.
Apalagi, kemudian, melegitimasi dengan satu atau dua ayat al-Quran yang
ditafsirkan sekehendak hatinya. Untuk memahami masalah salat, tidaklah
cukup hanya mengutip ayat al-Quran dalam surat al-Ma’un: “Celakalah
orang-orang yang salat.” Masalah peringatan Hari Besar Agama, sudah
diberi contoh dan penjelasan yang jelas oleh Rasulullah SAW, dan
dicontohkan oleh para sahabat Rasul yang mulia. Sebaiknya hal ini dikaji
secara ilmiah dari sudut ketentuan-ketentuan Islam. Untuk berijtihad,
memutuskan mana yang halal dan mana yang haram, memerlukan
kehati-hatian, dan menghindari kesembronoan. Sebab, tanggung jawab di
hadapan Allah, sangatlah berat. Tidaklah cukup membaca satu ayat, lalu
dikatakan, bahwa masalah ini halal atau haram.
Lain halnya, jika
seseorang yang memposisikan sebagai mujtahid, tidak peduli dengan semua
itu. Untuk masalah hukum-hukum seputar Hari Raya, misalnya, bisa dibaca
Kitab “Iqtidha’ as-Shirat al-Mustaqim Mukhalifata Ashhabil Jahim”, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).
Sejak awal mula, Islam sadar akan
makna pluralitas. Islam hadir dengan mengakui hak hidup dan beragama
bagi umat beragama lain, disaat kaum Kristen Eropa menyerukan membunuh
kaum “heresy” karena berbeda agama. Karen Armstrong memuji tindakan Umar
bin Khatab dalam memberikan perlindungan dan kebebasan beragama kepada
kaum Kristen di Jerusalem, Beliau adalah penguasa pertama yang
menaklukkan Jerusalem tanpa pengrusakan dan pembantaian manusia. Namun,
Umar r.a. tidak mengajurkan kaum Muslim untuk berbondong-bondong
merayakan Natal Bersama.
Peringatan Hari Raya Keagamaan,
sebaiknya tetap dipertahankan sebagai hal yang eksklusif milik
masing-masing umat beragama. Biar masing-masing pemeluk agama meyakini
keyakinan agamanya, tanpa dipaksa untuk menjadi munafik. Masih banyak
cara dan jalan untuk membangun sikap untuk saling mengenal dan
bekerjasama antar umat beragama, seperti bersama-sama melawan kezaliman
global yang menindas umat manusia. Dan untuk itu tidak perlu menciptakan
mitos tentang seorang tokoh fiktif bernama Santa Claus untuk menjadi
juru selamat manusia, khususnya anak-anak. Wallahu a’lam.
sumber: http://islampos.com/2012/mitos-mitos-tentang-perayaan-natal-bersama/
0 Komentar:
Post a Comment