Antara Natal, Tahun Baru Masehi & Fatwa Buya Hamka
BULAN Desember setiap tahunnya hadir dengan dua momentum besar bagi kaum Kristiani. Dua momentum itu adalah Perayaan Hari Natal, yang mereka sebut dengan hari kelahiran Yesus. Kemudian Tahun Baru Masehi, yang sebenarnya ini hari kelahiran Yesus yang sesungguhnya. Oleh akrena itu, kedua perayaan itu selalu diucapkan bersamaan, “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru”.
Ada sebuah kondisi yang dianggap mereka menguntungkan. Terlebih bagi sebagian kaum muslimin yang bermu’amalah dengan mereka. Baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Mereka selalu menggunakan momentum tersebut sebagai ukuran ketoleransian umat Islam di Indonesia. Minimalnya, ketika mereka mengucapkan ucapan hari Raya kepada kita dengan ucapan “Selamat Hari Raya Idul Fitri”, mereka ingin kita membalasnya di hari Raya Natal. Maksimalnya, kita umat Islam ikut Natalan bersama.
Antara Natal, Tahun Baru Masehi dan Fatwa Sang Buya Hamka
Insan LS Mokoginta, seorang Kristolog yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah Depok menuturkan, bahwa tanggal 25 Desember sebenarnya bukanlah hari kelahiran Yesus. Ini merupakan taktik teologis orang-orang Kristen pada masa lalu agar agama Kristen diterima oleh orang-orang Romawi Kuno yang selalu memperingati hari kelahiran Dewa Matahari pada tanggal 25 Desember.
Beliau melanjutkan, sebenarnya kelahiran Yesus adalah tanggal 1 Januari, makanya dinamakan Tahun Masehi, mesiah atau Al Masih. Karena jarak yang tidak terpaut jauh antara 25 Desember dengan 1 Januari, maka ucapan itupun disandingkan. Karenanya, bagi umat Islam sangat fatal jika ikut-ikutan mengucapkan kedua hari raya itu.
Hal ini telah jauh-jauh hari diperingatkan oleh Allahuyarham Buya Hamka ketika menjabat ketua MUI. Beliau, lewat lembaga MUI memfatwakan haramnya mengucapkan perayaan Natal dan ikut merayakannya. Sehingga Presiden Soekarno meminta agar beliau mencabut fatwa itu, dengan dalih kemajemukan Bangsa Indonesia, demi menjaga kerukunan Umat beragama. Lantas apa yang dilakukan Allahuyarham Buya Hamka? Apakah beliau mencabut fatwa MUI? Tidak! Beliau memilih mengundurkan diri menjadi Ketua MUI ketimbang mencabut Fatwa haram mengucapkan Natal dan ikut merayakannya. Subhanallah!
Natalan Bersama, Milik Siapa?
Kita sering mendengar ataupun melihat, para tokoh agama ikut berkumpul untuk merayakan Natalan bersama. Ironisnya, hal itu menjadi salahsatu ukuran frekuensi toleransi beragama. Jika alasannya untuk menjaga kerukunan umat beragama, kenapa hanya Natalan yang menjadi ukuran? Toh, ketika umat Islam melakukan shalat ‘Ied di berbagai tempat, tidak ada sama sekali ‘Iedan bersama yang diikuti tokoh ataupun Umat Kristiani?
Jika kita telusuri kedalam teologi Kristiani, dalam internal mereka terjadi banyak sekte ataupun aliran. Uniknya, setiap Gereja merupakan sekte tersendiri bagi Gereja yang lainnya. Mereka saling hujat-menghujat, murtad-memurtadkan antara satu dengan yang lain. Misalkan, disalahsatu wilayah di Bekasi, berjejer banyak Gereja hingga lebih dari tiga. Jika mereka memang tidak berbeda, kenapa mereka tidak membangun satu gereja besar saja untuk peribadahan mereka? Karenanya, sangat jarang, Umat Kristiani jika keluar dari agama mereka memeluk agama lain, kebanyakan dari mereka keluar dari sekte Kristen dan masuk ke sekte yang lainnya.
Kita juga mungkin sering mendengar, umat Kristiani yang rebutan Jama’ah ataupun rebutan Gereja. Kenapa? Karena mereka sendiri menganggap berbeda (aliran) dengan kawan Kristianinya. Untuk meminimalisir konflik tersebut, dikalangan mereka diadakanlah acara “Natalan Bersama”. Meski berbeda sekte, diharapakan ketika momentum natalan bisa bersama-sama.
Karenanya, sangat ironis jika diantara umat Islam mau ikut acara Natalan bersama. Dia perlu berfikir sejenak, sekte Kristiani apa yang dianutnya?
Siapakah Yang Tidak Toleran?
Banyak Umat Kristiani ataupun para punggawa Liberal menyatakan, bahwa Umat Islam Indonesia tidak toleran. Benarkah?
Jika kita mau membandingkan dengan Negara yang selalu dijadika kiblat HAM, yaitu Amerika. Maka jelas, kitalah Umat yang paling toleran. Misalkan dalam penaggalan kalender. Di Indonesia, semua agama memiliki hak yang sama ketika mereka akan merayakan hari keagamaannya. Semua yang berhubungan dengan itu, dimerahkan dan diliburkan.
Sedangkan di Amerika, tidak ada satupun perayaan agama Non-Kristen yang mereka masukan kedalam kalender untuk menjadi hari libur mereka. Bahkan di Indonesia yang bermayoritas Muslim, ketika menjelang Natal dan Tahun Baru disetiap pusat pembelanjaan dan media-media elektronik menghiasinya dengan warna-warni aroma Natal dan Tahun Baru yang kental. Bagaimana di Amerika? Apakah ketika bulan Ramadhan dan menjelang ‘Idul Fitri itu terjadi? So, siapakah yang tidak toleran?
Tips Dari Seorang Kristolog
Namun faktanya sekarang, diantara umat Islam selalu terjebak dengan kondisi atau momentum itu. Lantas bagaimanakah kita yang bersentuhan secara mu’amalah dengan orang-orang Kristen menghadapi perayaan tersebut?
Ustadz Insan LS Mokoginta memberiakn tips kepada umat Islam yang bersentuhan dengan Umat Kristiani apabila harus mengucapkan sesuatu ketika momentum itu hadir, baik lewat sms ataupun secara lisan. Ungkap beliau, kita jangan mau mengucapkan “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru”, tapi ucapkanlah “Semoga Allah Memberimu Hidayah Pada Hari Ini!”. Menurut Kristolog asal kelahiran Manado ini, bahwa do’a tersebut akan menjadi senjata bagi kita Umat Islam, toh mendo’akan kepada orang diluar Islam agar mendapat hidayah diperbolehkan asal masih hidup. Seperti yang pernah Rasul lakukan ketika mendo’akan agar Islam diperkuat oleh kekuatan Umar atau Abu Jahal.
Mereka pasti akan kaget mendengarnya, jika mereka tetap mempermasalahkan dengan mengatakan Umat Islam tidak toleransi. maka ungkapkan saja fakta tadi antara fenomena Indonesia dan Amerika. Jika mereka masih ngeyel dengan menyatakan bahwa ucapan itu hanya sebauh kata-kata, toh tidak ada salahnya mengucapkannya. Maka, kita tinggal ajak saja mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, toh itu juga cuma kata-kata! Allahu a’lam.
Oleh: Alan Ruslan Huban, Bidang Komunikasi Sosmed Lazis Dewan Da’wah, Wapemred Majalah Syi’ar Islam
0 Komentar:
Post a Comment