Awas.. Ada Hoax Lagi Tentang Kode E471 pada Produk White Koffie
#Awasss...ada HOAX lagi!
~silahkan share sebanyak2nya agar masyarakat pada gak ikut nyebarin fitnah, ini contoh persaingan bisnis yang busuk... na'udzubillah
Setelah sebelumnya banyak hoax haram es krim magnum, sekarang ini muncul 'keresahan' di tengah masyarakat gara-gara ulah seseorang yg tidak mau diingatkan utk tidak menyebar-nyebarkan berita bohong di internet (hoax). Ia mengatakan bahwa sebuah produk kopi yg bersertifikat halal resmi MUI ternyata mengandung E471 yg berarti babi.
Si penyebar hoax ini bukan ahli pangan, namun taqlid (percaya secara membabi-buta) terhadap hoax E-codes. Karena percaya sepenuh hati kpd berita kibulan di internet, maka ketika mendapatkan ada sebuah kopi merek terkenal, ia langsung berkreasi membuat tulisan yg seakan2 itu sebuah kebenaran. Karena belum pernah belajar ttg ilmu pangan, maka ia menganggap bhw E-numbers adalah kode-kode rahasia babi.
Lebih jahat lagi, si pembuat & penyebar hoax ini menempelkan tulisan 'HARAM' untuk menutupi logo 'HALAL' dari MUI. Bukankah ini sebuah fitnah yg keji?
Maka kami dari Must Be HALAL berpesan kpd sahabat2 semua...
"Janganlah kita memegang & meyakini HOAX sekuat kita meyakini kebenaran AGAMA kita!"
Allaahu a'lam bish-showwab
Nanung DD
http://www.kaze-kate.net/2012/10/White-Koffie-haram.html
Itu cuman perang dagang...ditambah orang galau karena kemakan HOAX E-codes! Ingat kasus es krim Magnum? Kira2 begitulah kasusnya!
Produk ini sdh memiliki Sertifikat Halal resmi dari LPPOM MUI, artinya semua bahannya telah dipastikan halal oleh auditor LPPOM.
Tentang huruf China, itu masalah SUUUUUAAANGAT SEPELE. Produk yg diekspor ke China dilengkapi dgn Bhs China oleh perusahaannya, koq disalahkan oleh masyarakat. Kurang kerjaan aja...
Janganlah kita memegang & meyakiniHOAX sekuat meyakini kebenaran AGAMA kita...
Bagi sahabat2 yg mengenal si Kaze Kate ini, mohon bantuannya utk mengingatkan dia agar segera menghapus fitnah-nya, sebelum banyak orang berbuat salah gara2 men-share tulisannya...
***
>>>Tentang Kode 'E'
Di antara sahabat2 sekalian barangkali ada yg pernah mendapatkan berita bohong di internet (hoax) ‘yang menggelisahkan’ yang bertajuk : “Kode Babi pada Makanan Kemasan (termasuk dalam ES KRIM MAGNUM)” melalui email, mailist, Facebook, Twitter, maupun SMS.
Atas saran banyak sahabat, saya diminta membuat tulisan (note) agar mudah di copy-paste sahabat2, agar bisa bersama2 kembali menenangkan umat dengan berita yang benar.
Sahabat-sahabat sekalian yang dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Saya pertama kali memperoleh hoax (informasi bohong di internet) ini di sekitar tahun 2004/2005. Sekarang hoax ini muncul lagi, bahkan menyebut salah satu produk dari sebuah perusahaan terkenal di tanah air. Saya sedih...hoax ini jadi pesan berantai. Banyak saudara kita yang tidak tahu, lalu merasa wajib menyebarluaskannya.
Efeknya tentu menjadi sangat buruk,
Pertama : muncul image bahwa LPPOM MUI tidak amanah, padahal lembaga ini sudah sangat ketat sistemnya.
Kedua : umat seakan jadi sangat mudah diombang-ambingkan berita dari orang fasiq.
Ketiga : ini bisa jadi fitnah bagi perusahaan ybs. Padahal Allah dan Rasul-Nya telah melarang kita bersikap tidak adil hanya gara2 kita tidak suka dengan perusahaannya.
Maka dari itu, perkenankanlah saya menyampaikan beberapa hal sbb.:
Pertama,
Allah Swt meminta kita melakukan tabayyun (klarifikasi) jika kita mendengar berita yang meragukan. Jangan sampai kita melakukan perbuatan yang tidak baik, dan kita menyesal di kelak kemudian hari.
Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam QS. Al Hujuraat (49) : 6 berikut :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kedua,
Ice cream Magnum dari Walls sudah memiliki Sertifikat Halal (no. 00290047180208, berlaku sd. 9 Maret 2012).
Artinya, produk tersebut telah diperiksa dengan cermat dan sangat teliti oleh para ahli (auditor) yang tergabung dalam LPPOM MUI. Emulsifier/stabilizer E472 yang dipakai perusahaan ini juga telah diteliti dan sudah dipastikan bahwa bahannya bukan dari lemak babi (http://hidayatullah.com/read/15974/21/03/2011/lppom:-kode-e472-tidak-berarti-babi.html).
Sebatas yang saya ketahui & saya yakini sbg 'bekas' Sekretaris LPPOM MUI, sangat kecil kemungkinan Walls nekad menggunakan bahan haram. Alasannya, pertama, perusahaan Walls (Unilever) adalah perusahaan raksasa. Apa iya mereka berani mempertaruhkan nama besar perusahaan mereka dgn menggunakan bahan haram. Ajinomoto cukup menjadi pelajaran berharga bagi banyak perusahaan, bahwa kalau nekad menggunakan bahan haram, maka kepercayaan masyarakat hilang (omzet penjualan Ajinomoto saat itu anjlok hingga tinggal 20%).
Ketiga,
LPPOM sangat ketat dalam melaksanakan audit halal. Saat ini terhadap setiap perusahaan yang menghendaki Sertifikat Halal (SH) diberlakukan kewajiban untuk menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH). Ini adalah sistem yang HARUS diterapkan perusahaan yang minta SH. Perusahaan yang bersangkutan harus membuat sistem tertulis yang diberlakukan untuk menjamin status kehalalan seluruh bahan baku dan prosesnya.
Keempat,
Tentang 'Kode Babi Pada Makanan Kemasan', maka saya sampaikan bahwa informasi tentang E-numbers (E-codes) ini jelas keliru. Saya juga pernah berbincang dengan Prof. Umar Santoso (FTP UGM Yogyakarta dan Wakil Direktur LPPOM MUI DIY), dan beliau menyatakan bahwa data-data tentang E-number tsb banyak yg tidak benar.
E-numbers tidak semuanya berasal dari lemak hewan. Ada E-number yang berasal dari bahan nabati, bahan tambang, bahkan bahan sintetis. E-number yang berasal dari hewan, tidak hanya berasal dari lemak, namun juga berasal dari senyawa lain maupun organ tubuh tertentu, seperti : tulang, kulit, telur, susu, dll. E-numbers tidak semuanya emulsifier/stabilizer, apalagi lemak babi. Ada E-number yang berupa senyawa pewarna, senyawa pengawet, senyawa pengasam, senyawa antioksidan, dll.
Informasi resmi dari Halal Food Guide – Inggris berikut juga bisa dipakai sebagai rujukan : http://www.guidedways.com/halalfoodguide.php
Jadi, kesimpulannya, kalimat yang menyatakan bahwa, “...kode-kode E-number mengandung lemak babi” adalah SALAH dan TIDAK BERDASAR fakta ilmiah. Tidak semua E-number itu dari lemak babi dan haram.
Kelima,
Ada beberapa hal yang membuat saya suuuuangat yakin bahwa berita ini adalah hoax :
a. Di artikel tsb ditulis bahwa Shaikh Sahib bekerja di Badan Pengawasan Obat & Makanan (POM) di Pégal, Perancis. Saya lalu menghubungi sahabat saya Bapak Rudi Yusuf Natamihardja yang tinggal di KJRI Marseille. Setelah beliau melacak keberadaan lembaga ini, beliau mengatakan bahwa Pégal adalah kota kecil dan disana tidak ada lembaga ini. Lembaga yang serupa POM ini ada di Montpellier, bukan di Pégal. Artinya, lembaga serupa POM di Pégal ini adalah lembaga fiktif.
b. Saya tertarik mencari tahu siapakah Anjad Khan ini. Saya coba melacak menggunakan search engines Google dan Yahoo, dengan kata kunci Anjad Khan. Dari 14 halaman yang saya buka, alhamdulillah akhirnya ketemu…! Ada 2 orang, yang satu Anjad Khan, tinggal di West Yorkshire, UK. Yang kedua orang Pakistan, yang bekerja sbg konsultan di Neuro Clinic, Medical Practice Industry, Pakistan. Keduanya bukan staf di sebuah lembaga yang bernama Medical Research Institute United States.
Kemudian, kalau saya ganti kata kuncinya dengan Amjad Khan, maka yang muncul ada 3 orang. Amjad Khan pertama adalah bintang film India (Bolywood). Amjad Khan kedua adalah pemain Cricket Inggris kelahiran Copenhagen, Denmark. Kedua ‘Amjad Khan’ ini tidak terkoneksi dengan sebuah lembaga yang bernama Medical Research Institute United States (kalaupun lembaga tsb ada). Amjad Khan yang ketiga adalah Amjad Khan yang ada pada artikel (hoax) ini. Dari data-data tsb saya simpulkan bahwa nama Anjad/Amjad Khan di artikel ini adalah nama fiktif.
c. Kemudian saya mencoba mencari lembaga di Amerika yang disebut sebagai Medical Research Institute United States. Dari upaya pencarian saya, ternyata saya tidak berhasil menemukan lembaga tsb di internet. Yang ada yaitu US Army Medical Research Institute, dan tidak ada satupun artikel yang terkoneksi dengan nama Anjad/Amjad Khan ini. Selain itu, tidak ada jurnal ilmiah yang dipulikasi oleh lembaga ini. Dari fakta-fakta tsb di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa lembaga yang disebut sebagai Medical Research Institute United States ini fiktif.
d. Kalau benar Syaikh Sahib bekerja sebagai staf quality control (QC), maka mestinya beliau tahu asal bahan tsb (tanpa harus bertanya kepada orang yang 'berwenang' dalam bidang itu). Juga koq aneh, istilahnya koq 'yang berwenang di bidang itu. Lha, bukankah QC yang paling berwenang dalam pengawasan kualitas bahan.
e. Saya merasa sangat heran, koq ada perang saudara (civil war) disebabkan karena peluru yang dilapisi lemak babi. Lagi pula, itu perang saudara dimana dan antara siapa melawan siapa? Terkesan dengan sangat bahwa alasan perang ini terlalu dicari-cari.
f. Sebatas pengetahuan saya yg sangat minim, penggunaan E-number itu bukan utk menutupi kenyataan, namun untuk memudahkan identifikasi bahan. Saya kira para ahli makanan di Eropa yang beragama Islam sangat banyak dan sangat paham tentang hal ini. Masak sebodoh itu para doktor teknologi pangan Muslim ditipu?
Demikianlah klarifikasi yang dapat saya sampaikan. Semoga sahabat-sahabat sekalian berkenan untuk menyebarluaskan informasi ini agar masyarakat kembali tenang.
Sekedar tambahan informasi, Daftar Produk Halal MUI dapat kita akses dengan mudah melalui website resmi MUI atau melalui link: http://www.halalmui.org/images/stories/pdf/daftar%20produk%20halal%20Maret%202011.pdf
Ikuti pula kajian SEHAT (Seri Halal Thayyibah) yang membahas Halal-Haram Produk Makanan, Minuman, Obat dan Kosmetika melalui streaming radio internet www.radiopengajian.com yang insya Allah rutin dilaksanakan setiap Sabtu malam pkl.20.00-22.00 WIB (13:00-15:00 GMT) langsung dari Italy. Ikuti pula kajian SEHAT (Seri Halal Thayyibah) yang membahas Halal-Haram Produk Makanan, Minuman, Obat dan Kosmetika melalui streaming radio internet.
Nanung Danar Dono
PhD Student at College of Medical, Veterinary, and Life Sciences
University of Glasgow, Glasgow,
Scotland, UK
***
>>>Mengharamkan yang Halal Lebih Berat Dosanya Dibandingkan Menghalalkan yang Haram!
“Hati-hati, jangan menghalalkan apa yang diharamkan Allah,” kata seorang ustadz kepada saya. Maka saya jawab, “Begitu pula sebaliknya, hati-hati, jangan sampai mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah.” Demikianlah kira-kira cuplikan sebagian dialog yang sempat terjadi antara saya dengan seorang ustadz yang mulia ketika berdiskusi mengenai suatu masalah yang berujung pada ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat.
Terkadang kita jumpai sebagian orang yang terlalu bermudah-mudah dalam melarang dan mengharamkan sesuatu. Demikian pula sebaliknya, juga kita jumpai sebagian lain hidup dalam permissivisme (ibāhiyyah) yang membolehkan dan menghalalkan segala sesuatu. Celakanya adalah apabila masing-masing dari kedua golongan tersebut memutuskan tanpa ilmu.
Menghalalkan yang haram merupakan tindak kelancangan terhadap hukum Allah, sebagaimana halnya mengharamkan yang halal pun demikian. Allah berfirman:
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ، وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَشْكُرُونَ
“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan (kedustaan) terhadap Allah?’ Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Yūnus [10]: 59-60)
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (QS. An-Nahl [16]: 116)
Pada umumnya, perbuatan menghalalkan yang haram lahir dari mereka yang cenderung selalu mengikuti nafsu syahwatnya, sedangkan tindakan mengharamkan yang halal muncul dari orang-orang yang tampak keshalihan pada mereka namun mereka bersikap kaku karena kecemburuan (ghīrah) mereka yang sangat terhadap agama.
Kedua sikap tersebut tentu bukan merupakan sikap yang benar. Bahkan keduanya termasuk dalam hal menuruti hawa nafsu. Hanya saja, yang pertama terkait dengan nafsu syahwat, sedangkan yang kedua terkait dengan nafsu berlebih-lebihan dalam agama. Yang benar adalah sikap pertengahan, yakni menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta melapangkan apa yang telah Allah lapangkan bagi manusia. Namun sayangnya, sungguh sedikit orang yang bersikap demikian.
Meskipun mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram adalah sama dari sisi kelancangan terhadap hukum Allah, namun mengharamkan yang halal lebih parah dan lebih berat hukumnya, karena hal itu menyempitkan dan memberatkan kehidupan manusia, serta bertentangan dengan prinsip umum syariah yang memberi kemudahan dan menghilangkan kesulitan (haraj). Allah berfirman:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
َ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia ingin membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 6)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
ِ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik?!’” (QS. Al-A`rāf [7]: 32)
Dari Sa`d Ibn Abī Waqqāsh dengan sanad yang valid, Nabi—shallaLlāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ
“Sesungguhnya yang paling besar dosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan karena pertanyaannya tadi.” (Riwayat al-Bukhāri: VI/2658/6859.)
Dan dalam riwayat lain disebutkan,
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن فِي الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ أَمْرٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ عَلَى النَّاسِ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ
“Sesungguhnya kaum muslimin yang paling besar dosa dan kejahatannya terhadap (sesama) kaum muslimin adalah yang bertanya tentang perkara yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan kepada manusia karena pertanyaannya tadi.” (Riwayat Muslim: IV/1831/2358; Ahmad: I/179/1545; Abū Dāwūd: II/612/4610; dan lain-lain.)
Di samping itu, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibn ‘Utsaimīn, mengharamkan yang halal berseberangan dengan kaidah yang berbunyi:
الأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءُ الحِلّ
“Hukum asal segala sesuatu adalah halal (sampai ada dalil yang mengharamkannya).”
Syaikh Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—berkata, “Mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah tidak kurang derajatnya dalam dosa dibandingkan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Engkau dapati banyak dari orang-orang yang memiliki kecemburuan terhadap agama (ghīrah) lebih cenderung kepada tindakan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dibandingkan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Sebaliknya dengan mereka menyepelekan ajaran agama (mutahāwinūn). Kedua golongan tersebut salah. Meski demikian, menghalalkan yang haram terhadap apa-apa yang hukum asalnya halal adalah lebih ringan statusnya dibandingkan mengharamkan yang halal. Sebab, menghalalkan yang haram, apabila belum tampak jelas sisi pengharamannya, dibangun di atas hukum asal, yaitu kehalalan, di samping bahwa rahmat Allah—subhānahu—mendahului murka-Nya. Karena itu, tidak memungkinkan bagi untuk kita mengharamkan kecuali apa yang telah jelas pengharamannya. Sebab, pengharaman itu lebih menyempitkan dan memberatkan (dibanding penghalalan). Dan, pada asalnya, seluruh perkara itu tetap berada di atas kehalalan dan kelapangan sampai jelas datangnya pengharaman.
Adapun dalam urusan-urusan ibadah, maka diperkeras (berkebalikan dengan penjelasan sebelumnya). Sebab, hukum asal ibadah adalah terlarang dan diharamkan sampai dijelaskan oleh syariah. Hal ini sebagaimana disebutkan,
وَالْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ حِلٌّ وَامْنَعِ
عِبَــادَةً إِلاَّ بِإِذْنِ الشَّــــــارِعِ
Hukum asal dalam segala sesuatu adalah halal
dan cegahlah suatu ibadah kecuali dengan izin Pembuat Syariah
Demikianlah perkataan al-‘Allāmah Ibn `Utsaimīn. (Lihat: al-Qaulu’l Mufīd ‘alā Kitābi’t Tauhīd, bab Man Athā`a’l `Ulamā’ wa’l Umarā’ fī Tahrīm Ma Ahalla’Llāhu au Tahlīl Ma Harramahu fa Qad Ittakhadzahum Arbāba, vol. II, hal. 311. Lihat pula: al-Qawā`id al-Fiqhiyyah, karya Syaikh Ibn `Utsaimīn)
Sebenarnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kaidah: ‘Hukum asal segala sesuatu adalah halal’, setidaknya terdapat empat pendapat:
Pendapat pertama: Hukum asal segala sesuatu adalah terlarang atau haram. Ada yang menisbatkan pendapat ini kepada jumhūr (mayoritas ulama). Penulis al-Asybāh wa’n Nazhā’ir menisbatkan pendapat ini kepada Imam Abū Hanīfah. Ia berkata, “Menurut Abū Hanīfah, hukum asal dari segala sesuatu adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan kehalalannya.” Namun, jika yang dimaksud dengan ‘segala sesuatu’ itu bersifat umum dan universal maka pendapat ini sangat lemah (marjūh) dan berseberangan dengan dalil dan argumen yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Pendapat kedua: Hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan sampai ada dalil yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat asy-Syāfi’iyyah dan Muhammad Ibn ‘Abdi’Llāh Ibn al-Hakam. Sebagian ulama kontemporer menisbatkan pendapat ini kepada jumhūr (mayoritas ulama).
Pendapat ketiga: Hukum asal segala sesuatu adalah tawaqquf (abstain), tidak dapat dikatakan halal maupun haram. Ini adalah pendapat al-Asy’ari, Abū Bakr ash-Shairafi dan sebagian asy-Syāfi’iyyah.
Pendapat keempat: Dirinci antara mudharat dan manfa’at; yakni hukum asal dalam hal-hal yang bermanfaat adalah halal, sedangkan hukum asal dalam hal-hal yang menimbulkan mudharat adalah haram. Ini adalah pendapat al-Fakhr ar-Rāzi, sekaligus menjadi pendapat yang dipilih oleh banyak ulama, seperti al-Qādhī al-Baidhāwi. Inilah pendapat yang paling tepat—in syā-aLlāh. Ibn as-Subki dan al-Jalāl al-Mahalli telah menegaskan bahwa perincian ini adalah benar. Pendapat ini juga dipegang oleh al-Qarāfi. WaLlāhu a’lam bish shawāb.
(Lihat: Mazhāhir at-Taisīr fi at-Tasyrī` al-Islāmi, hal. 34-35)
Penting untuk dipahami, bahwa pendapat ulama yang merupakan hasil ijtihād tidak dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut mengharamkan apa yang Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan. Bahkan, pemilik pendapat tersebut akan mendapatkan ganjaran berdasarkan benar atau salahnya pendapat itu, sebagaimana disebutkan dalam hadits muttafaq ‘alaih: “Jika seorang hakim ber-ijtihād lalu dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan jika dia salah, maka mendapatkan satu pahala.” Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Husain al-’Awāyisyah dalam Kaifa Tuhakkim Nafsaka….
Demikian, semoga ada manfaatnya. Semoga kita menjadi orang yang berhati-hati dalam menghukumi sesuatu. WaLlāhu a’lam bish shawāb.
Bekasi, Oktober 2007
Salam,
Abū Fāris an-Nūri
0 Komentar:
Post a Comment